Balon dan Harapan

fragmen
4 min readDec 25, 2022

--

Source: unsplash

Akhirnya saya putuskan untuk berjalan sendiri menuju undangan pernikahan seorang kawan. Tak ada pasangan, atau kawan yang justru ia datang terlambat. Melihat gelagat saya yang kaku, seorang kawan yang berpapasan dan hendak berlalu pulang menawarkan diri untuk menemani ke tempat. Atas kebaikan itu, saya iyakan.

“Tapi” katanya, “mereka lagi mau nerbangin balon”

“Oh gitu.” Ujar saya.

Langkah kami terhenti dan menyaksikan beberapa balon dilepaskan ke udara, seorang MC terdengar bicara tapi entah bilang apa, kurang jelas. Mereka memandangi balon yang tertebak angin itu sambil bersahut-sahutan dan bertepuk tangan.

“Itu buat apa Nu?” Kawan saya bertanya secara retoris, pertanyaannya seperti tak membutuhkan jawaban.

“Harapan mungkin Ul.” Tukas saya seenaknya, “Karena gak mungkin kalo iseng.”

“Kenapa mesti diterbangin?”

“Harapan kan harus tinggi.”

Kami meneruskan langkah setelah pasangan kembali ke pelaminan, “Cuma simbol sih, dan kayaknya tidak bisa dibenarkan oleh aktivis lingkungan.” Saya mengencangkan suara karena bunyi musik dangdut telah terdengar lebih keras seiring kami mendekati tenda.

Saya menulis pada buku tamu dengan nama seorang pengamat politik. Mengetahui hal itu, kawan saya tidak heran dan sambil nyengir saya menegaskan “Tak berarti apa pun.” Tak lama berselang, saya bergabung dengan kawan lain yang berada di sana, dan Aul, ia izin pulang. Thanks her later.

Bukan hal yang baru manusia mengonkretkan apa yang selama ini kita sebut sebagai fiksi melalui simbol-simbol material. Pengalaman telah banyak bicara bahwa fiksi berpengaruh besar terhadap kehidupan manusia, seperti cita-cita bersama, mimpi, keadilan, uang, negara, dsb. Dan itulah faktor utama manusia dapat menyetir dunianya.

Dalam mengkaji simbol – atau kita bisa mengatakan ia bertindak sebagai bahasa – kita tidak lepas dari Ferdinand de Saussure, seorang pakar linguistik asal Swiss. Bahwa bahasa diliputi oleh aspek penanda yang bersifat material dan aspek tinanda yang bersifat makna. Di mana simbol hadir, makna dibutuhkan. Balon yang dilepaskan ke udara oleh pasangan pengantin itu mewakili aspek penanda dari sesuatu yang bermakna harapan. Saya tidak tahu persis apakah yang dimaksud memang demikan atau bukan, namun yang jelas hubungan penanda dan tinanda bergantung pada kesepakatan sosial. Hanya karena balon gas itu dilepas saat perayaan pernikahan, maka besar kemungkinan menyimbolkan sebuah harapan. Namun jika ada anak kecil yang melepaskan balon gas ke udara, kecil kemungkinan kita menganggapnya harapan, melainkan ketidaksengajaan. Di sana kita tahu begitu kuatnya peran simbol, atau bahasa, atau pun fiksi yang hadir di antara kita. Bahkan Yuval Noah Harari mengatakan bahwa Sapiens menaklukan dunia berkat bahasanya. Tak ada satu pun kucing yang mampu berbicara satu sama lain untuk bersama-sama sepakat bagaimana cara mencuri ikan asin di pasar tanpa sepengetahuan pedagang.

Pernikahan dan segala ornamen untuk perayaannya dalam hal ini adalah sejumput tanda yang mengafirmasi keberadaan dari cinta. Orang bisa menderita, menangis, bahagia, atau tertegun patah hati karenanya. Kita kali ini boleh bersepakat dengan Virgoun dalam salah satu lagunya bahwa cinta masih berkuasa di atas segalanya. kendati demikian, dengan berat harus dikatakan bahwa cinta ialah bagian dari semesta fiksi.

Cinta merupakan produk dari pikiran manusia. Hewan atau tumbuhan tak mengenal yang namanya cinta, mereka makan, minum, berhubungan seks, berlandaskan pada naluri, bukan cinta. Hewan tak mengenal keadilan, hak asasi, maupun demokrasi. Mereka bereaksi terhadap sesuatu yang dialami pada saat itu pula, tidak bersandar pada mimpi dan cita-cita mereka.

Tapi demikianlah fiksi, yang tanpanya kita tidak akan memberi makna atas kehidupan di alam semesta ini. Justru karenanya kita mengenal cinta dan kasih sayang, apa arti kepercayaan, bahkan takdir dari hidup. Kita tidak berharap kematian makna seperti yang sering dinyatakan Derrida. Fiksi, rasanya seperti tubuh yang terberi yang betapapun tak bisa kita sangkal keberadaannya. Ia meliputi kehidupan kita sehari-hari, sedini bangun tidur memikirkan apa yang hendak kita lakukan atau setua kita hendak tidur memikirkan apa yang kita dambakan. Maka bersandar pada kenyataan bahwa fiksi menjadi bagian dari manusia, kita hanya berharap kehidupan yang lebih baik dan layak, tanpa melampaui batas-batas yang telah diciptakan.

Ya, kita bisa bersepakat dengan Rocky Gerung yang pernah mengatakan fiksi itu baik sebab ia dapat mengantarkan kita pada thelos, atau sebuah destinasi yang pernah kita ingin tuju. Namun, selayaknya alat-alat material lainnya, fiksi dapat begitu berbahaya jika tidak digunakan di luar kadarnya. Orang bisa bunuh diri karena sumpah serapah yang diutarakan orang lain. Orang dapat melakukan pengeboman atas nama janji surga yang disalah mengerti.

Dan dalam hal ini pertanyaan saya, sampai sejauh mana kita akan membawa cinta pada arah yang seharusnya?

Sesaat setelah balon itu mengudara, saya bayangkan ia akan pecah karena tak sanggup melewati lapisan-lapisan yang melindungi bumi. Serpihannya jatuh terombang-ambing dan terbawa angin, jika tidak sedang beruntung, mungkin menimpa jidat seseorang. Dan orang itu menemukan serpihan balon, bukan menemukan harapan.

--

--

No responses yet